Kamera prosumer/bridge camera/kamera semi-pro, berawal dari solusi tengah-tengah antara kamera saku dan DSLR. Tidak jelas siapa yang pertama memperkenalkan istilah-istilah ini, bahkan kriteria sebuah kamera layak dianggap sebagai kamera prosumer juga sebetulnya tidak jelas bahkan cenderung bias. Saat awal mula kamera prosumer diperkenalkan, harga kamera DSLR saat itu amat tinggi. Tuntutan akan kebutuhan fotografi profesional dengan budget terjangkau membuat kamera prosumer kala itu menjadi laris manis (meski waktu itu harga prosumer tetap saja masih cukup mahal). Namun kondisi saat ini sudah banyak berubah. Semakin murahnya harga kamera DSLR sekarang membuat produsen kamera mulai mengurangi produksi jajaran prosumernya dan lebih fokus untuk bersaing di pasar DSLR.
Kategori yang termasuk dalam kamera prosumer adalah dengan spesifikasi sebagai berikut:
- mempunyai pilihan setelan eksposure lengkap (program, shutter priority, aperture priority, manual)
- setelan penting lainnya juga harus bisa diatur secara manual (fokus, ISO, white balance, flash, kompresi JPEG dsb)
- memiliki kualitas lensa yang baik (kontras tinggi, ketajaman pada seluruh rentang zoom baik, distorsi rendah, bukaan lensa maksimal besar saat wide atau tele)
- memiliki sensor lebih besar (minimal 1/1,8 inci, umumnya 2/3 inci) sehingga didapat dynamic range dan kinerja low-light yang lebih baik
- tersedia pilihan format file selain JPEG, misalnya TIFF dan RAW
- menyediakan keleluasaan untuk menambah asesori lensa (filter, wide/tele converter dsb)
- memiliki kinerja lebih baik daripada kamera saku (kecepatan fokus, shutter-lag, shot-to-shot, burst mode dsb)
- memiliki fitur penting lain : stabilizer, flash hot shoe, AF assist light, bracketing, viewfinder dengan diopter adjustment.
Saat kita membeli kamera digital SLR yang pertama, berarti kita telah membeli sebuah sistem untuk jangka panjang. Hal ini karena lensa aksesoris dan lensa kamera digital SLR merek tertentu, sebagian besar tidak bisa dipakai di kamera merk lain.
Meski demikian sebelum benar-benar mengambil keputusan dalam memilih, ada baiknya kita juga mengetahui keterbatasan dari kamera prosumer. Setidaknya, meski akhirnya seseorang telah menjatuhkan pilihannya pada kamera prosumer, dia tidak harus kecewa pada pilihannya. Inilah beberapa kompromi yang harus diterima :
- Meski mampu memberi hasil foto yang baik, prosumer tetap terganjal oleh keterbatasan seperti kualitas dan rentang lensanya, ukuran sensornya yang kecil dan kualitas A/D converternya. Hasilnya, kualitas hasil foto kamera prosumer tidak bisa sebaik kamera DSLR, dan akan semakin kalah bila dipakai pada kondisi kurang cahaya (saat memakai nilai ISO tinggi).
- Jangan berharap kecepatan auto fokus yang tinggi pada prosumer. Sistem auto fokus DSLR menggunakan metoda phase detect yang jauh lebih unggul dibanding kamera biasa yang memakai contrast detect. Untuk mengunci fokus pada objek foto yang selalu bergerak tentu menjadi hal yang ‘enteng’ buat kamera DSLR, namun tidak demikian apabila memakai kamera prosumer. Belum lagi pada prosumer kemampuan auto fokusnya akan melambat pada saat mencari fokus pada obyek yang agak gelap atau saat memakai zoom maksimal.
- Sebagaimana kinerja auto fokus, kinerja shutter dari kamera prosumer juga tidak seresponsif kamera DSLR. Meski semakin disempurnakan, waktu jeda antara tiap pemotretan (shot-to-shot) dan delay saat shutter ditekan dan kamera mengambil gambar (shutter-lag) pada kamera prosumer tetap kalah dengan kamera DSLR. Hal ini berpengaruh pada kemungkinan kehilangan momen-momen penting karena ‘keterlambatan’ ini.
- Terkadang membidik melalui viewfinder pada prosumer menjadi masalah tersendiri terutama untuk memotret objek yang bergerak atau saat kurang cahaya. Hal ini karena viewfinder pada prosumer umumnya menggunakan LCD, bandingkan dengan viewfinder pada DSLR yang menerima gambar langsung dari lensa. Apalagi DSLR kelas atas memakai viewfinder prisma yang lebih terang, bahkan DSLR Full Frame memiliki viewfinder yang lebih luas dari DSLR biasa berkat sensornya yang lebih besar.
- Keterbatasan kreativitas cepat atau lambat akan dirasakan pemakai kamera prosumer. Bagi yang ingin membuat foto dengan background blur (bokeh) akan merindukan lensa SLR bukaan besar. Bagi yang ingin membuat foto dengan efek cahaya dari beberapa lampu kilat akan merindukan sistem creative-lighting dari beberapa flash yang dikendalikan secara wireless.
Namun apabila ternyata kompromi diatas tadi tidak dapat diterima, artinya jawabannya jelas. Anda membutuhkan kamera DSLR. Well, kenapa tidak? Go for it.. kamera DSLR sekarang sudah sangat murah dan fiturnya makin canggih dengan sistem live-view dan sistem anti debu/dust reduction.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar